sawit kebun

Bisnistoday- Hidup, Jodoh, dan Mati seseorang adalah rahasia Ilahi sang pencipta alam semesta. Seperti halnya perjalanan hidup seseorang. Boleh jadi hari ini ia berada “dibawah” tapi esoknya berada “diatas” begitu juga sebaliknya.

Hal inilah yang dialami langsung oleh
Made Gunarta (55 tahun) transmigran asal Bali yang mencoba mengubah nasibnya di perkebunan sawit yang dimiliki oleh milik PT Unggul Widya Teknologi Lestari (UWTL) di daerah Baras, Pasangkayu, Sulawesi Barat.

Saya bersama dengan awak media lainnya berkesempatan berbincang langsung dengan satu satu dari sekian banyak orang yang sukses karena berkebun kelapa sawit.

“Emas Hijau” begitu julukanya, memang menjadi primadona para petani Indonesia saat ini karena mudah menanamnya, mudah perawatannya serta hasil produksi lebih unggul jika dibandingkan dengan 4 minyak nabati lainnya. Tidak heran jika banyak perusahaan dan petani berlomba-lomba untuk menanamnya.

Indonesia sendiri dari data yang dikeluarkan oleh KPK memiliki total luas lahan perkebunan sawit mencapai 20 juta hektar. Dan ini menjadikan Indonesia sebagai negara penghasil CPO terbesar di D
dunia. Tidak hanya itu, pemasukan terbesar negara dari sektor non migas berasal dari sawit.

Menyusuri hamparan perkebunan sawit sepanjang jalan yang dimiliki oleh UTWL, akhirnya saya tiba disuatu rumah berornamen khas Bali. Gapura besar dengan ukiran khas Bali berwarna perak dan emas dengan pintu kayu jati di tengahnya, menampilkan kesan mewah saat memasuki rumah itu.

Sejenak saya pun tertegun karena di tengah hutan, disini (Sulawesi) terdapat saudara kita yang berasal dari Bali. Tidak hanya itu, di lingkungan Made tinggal terdapat banyak orang Bali lainnya. Bisa dibilang seperti perkampungan Bali kecil.

“Dulu tahun 1988 saya dan 325 orang lainnya mengikuti program transmigrasi meninggalkan kampung halaman Nusa Penida Bali untuk bergabung menjadi petani sawit. Di Bali waktu itu hidup susah. Waktu sekolah saja saya minta sepatu ke orang tua saja ga bisa kebeli. Akhirnya saya nekad keluar cari nasib ikut transmigrasi daripada pahit di kampung,” ujar Made kepada Bisnistoday, Baras, 30/04/19.

Lanjut Made, dirinya bergabung bersama PT UWTL saat berusia 25 tahun. Kala itu ia sebagai petani plasma, dimana dirinya diberikan lahan seluas 2 hektare per kepala keluarga oleh perusahaan untuk ditanami kelapa sawit.

“Ya di tempat kita duduk inilah tanah 2 hektare itu. Depan lahan Saya jadikan tempat tinggal, sisanya di belakang Saya tanami kelapa sawit. Saya juga bekerja sebagai tenaga harian waktu itu. Dibayar Rp2000 rupiah/ hari agar bisa memiliki uang yang lebih,” jelasnya. 

Kerja Keras Membuahkan Hasil

Hari demi hari dilalui Made di perkebunan sawit. Dirinya terus belajar dan banyak mendapatkan bimbingan dari perusahaan mengenai cara menanam sawit yang baik dan benar.

Buah kerja keras Made pun sedikit-sedikit terlihat. Lima tahun setelah ditanam, kelapa sawit siap di panen. Tak lupa dari hasil panen hasilnya ia tabung. Dan jika dulu ia hanya punya 2 hektar lahan, kini ia memiliki hampir 100 hektar lahan sawit dengan penghasilan paling sedikit Rp50 juta per bulan. Fantastis!. Selain itu, ia dipercaya oleh para petani untuk menjadi ketua kelompok petani sawit.

“Ya penghasilan saya sekarang cukup lah untuk membiayai ke 5 anak. Saya ingin mereka bisa sekolah tinggi ndak seperti saya dulu,” ujarnya mengenang.

Putra sulungnya sudah lulus S2 jurusan Ekonomi Bisnis, sementara anak kedua telah menjadi dokter. Anak ketiganya masih menempuh pendidikan tinggi dan anak terakhir masih duduk di bangku SMP.

“Anak-anak saya semua lahir dan besar disini. Mereka bisa sekolah tinggi dari sawit. Jadi sawit ini benar benar mengubah hidup saya,” kata Gunarta diiringi tawanya.

Setelah tiga puluh tahun, dengan kerja kerasnya dari dua hektare lahan, ia kini telah memiliki kebun seluas 100 hektare dan melakukan ekspansi bisnis sawit di Kalimantan Tengah seluas 120 hektare. Ia juga sudah merambah ke budi daya sarang burung walet dan berencana usaha di sektor batu bara di wilayah Kalimantan.

Di kampung halamannya, Made juga telah membeli rumah di Denpasar, Bali, senilai Rp1,4 miliar. Namun lebih dari kekayaan materiil itu, ia sangat berterima kasih atas program transmigrasi ini. “Ya Saya terima kasih kepada khususnya perusahaan yang memberikan bimbingan kepada saya hingga bisa seperti sekaran ini. Apa yang Saya punya ini semata untuk anal bukan untuk Saya. Kalau Saya sudah tua,” imbuhnya. Dewi

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *