Bisnistoday.com, Jakarta, FMB9 – Pemerintah Indonesia telah menyiapkan peta jalan (road map) dalam rangka mencapai target net zero emissions pada tahun 2060. Hal tersebut disampaikan Kepala Staf Kepresidenan Republik Indonesia, Moeldoko dalam diskusi bertajuk “Ekosistem Menuju Energi Bersih” yang digelar Forum Merdeka Barat 9, Senin, 5 Juni 2023.
“Saya pikir pemerintah sudah memiliki road map menuju ke sana, sangat clear ya road mapnya itu penting bagi masyarakat Indonesia untuk ikut memahami dan terlibat di dalamnya,” ungkap Moeldoko.
Hal ini, kata dia, juga diperkuat oleh pertemuan KTT ASEAN beberapa waktu lalu di Labuan Bajo, yang memberikan arah yang lebih jelas dan konkrit bahwa perlu dibangun ekositem kendaraan listrik di kawasan ASEAN.
“Saya pikir ini lebih memperkuat lagi komitmen Indonesia dan masyarakat Indonesia menuju zero emission tahun 2060 di antaranya melalui energi bersih,” kata Moeldoko.
Menurut Moeldoko, pemerintah Indonesia nantinya akan menyiapkan sejumlah strategi jangka panjang yang dilakukan secara bertahap dan simultan untuk mencapai target net zero emissions pada 2060.
“Bahwa secara simultan nanti pensiun dini PLTU akan dilakukan. PLTU subkritikal tahap pertama akan mengalami “pensiun dini” pada tahun 2031. Ini nanti diikuti dengan tersambungnya interkoneksi jaringan listrik antar pulau di Tahun 2035,” jelas Moeldoko.
Selanjutnya, di tahun 2040, pemerintah akan menargetkan bauran energi nasional dari Energi Baru Terbarukan (EBT) sudah mencapai 71%, yang diikuti dengan penghentian penjulan motor konvensional.
“Tidak ada lagi PLT diesel yang beroperasi serta tidak ada penjualan motor konvensional. Jadi semuanya diharapkan menuju ke listrik,” ungkapnya.
Selain itu, pada tahun 2050, pemerintah menargetkan bauran energi nasional diharapkan sudah mencapai 87%, yang dibarengi dengan penghentian penjualan mobil konvensional.
l di 2050 nanti sudah gak ada lagi,” kata Moeldoko.
Menurut Moeldoko, target net zero emissions akan terpenuhi pada tahun 2060, di mana bauran energi nasional telah mencapai 100% yang didominasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).
Net zero emissions ini nantinya akan dibarengi penyaluran gas melalui jaringan gas sebanyak 123 juta sambungan rumah tangga dan kompor listrik sebanyak 52 juta rumah tangga.
“Itulah kira-kira road map Indonesia dalam menuju 2060 zero emission,” kata Moeldoko.
Pemerintah Siapkan Instrumen
Selain menyiapkan road map, pemerintah juga telah menyiapkan sejumlah instrumen dalam rangka mencapai Net Zero Emissions pada 2060.
Menurut Moeldoko, ada dua instrumen yang telah disiapkan pemerintah saat ini dalam rangka mempercepat target Net Zero Emissions.
Pertama, PERPRES No. 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan.
Kedua, Inpres No.7 Tahun 2022 terkait Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Sebagai Kendaraan Dinas Operasional dan/atau Kendaraan Perorangan Dinas Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
“Kalau kita berbicara khusunya kendaraan listrik kita punya instrumennya. Itu sebagai payung hukum yang menjadi pedoman kita,” papar Moeldoko.
Terkait Instruksi Presiden, Moeldoko menegaskan bahwa hal tersebut menjadi pemicu berkembangnya industri kendaraan listrik di Indonesia, sekaligus pemacu bagi kostumer untuk membeli kendaraan listrik.
“Dari sisi Inpres, maka saya katakan Inpres ini sebagai pemicu bertumbuhkembangnya industri kendaraan listrik di Indonesia, karena Inpres itu memberikan jaminan bahwa kalau para investor mau mengembangkan kendaraan listrik di Indonesia, maka ada sebuah jaminan, karena penggunanya ada mandatory,” kata Moeldoko.
Di sisi lain, Inpres tersebut juga akan membantu bertumbuhnya ekosistem lintas elemen, misalnya soal ketersediaan listrik dan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik (SPKLU) di Indonesia.
“Ini saya pikir akan menjadi pemicu bertumbuhnya ekosistem, di antaranya PLN harus menyediakan ketersediaan listrik dan memperbanyak SPKLU yang ada sekarang, berikut juga keterlibatan pertamina mulai cukup intens,” katanya.
Menurut Moeldoko, instrumen yang disediakan pemerintah menjadi payung hukum yang juga akan memberikan efektifitas dalam oengembangan industri listrik di Indonesia.
“Kalau instrumen sudah ada, berikutnya ekosistem yang lain adalah pengembangan industrinya dan berikutnya industri itu akan bertumbuh dengan baik apabila ada SPKLU-nya tersedia,” bebernya.
Selain itu, Moeldoko juga menyinggung soal penandaan dalam rangka mempercepat transisi dari kendaraan konvensional menuju kendaraan listrik.
“Pendanaan ini menjadi hal yang krusial karena sampai dengan saat ini semangat perbankan untuk memberikan leasing kepada pembelian kendaraan listrik ini juga masih belum masif, ada tapi belum begitu besar,” katanya.
Sejumlah Tantangan
Dalam konteks menciptakan ekositem kendaraan listrik, Moeldoko mengaku menemukan sejumlah tantangan, khusunya menjawab sejumlah isu publik terkait kendaraan listrik.
“Tantangan pertama, bagaimana menjawab isu publik. Satu, tentang baterai. Masyarakat selalu bertanya, baterai itu kira-kira jarak tempuhnya berapa, ngisinya bisa cepat nggak, beratnya gimana karena berpengaruh terhadap jarak tempuh, selanjutnya mudah terbakar atau tidak. Lalu bagaiaman cara mengelola baterai yang habis pakai,” kata Moeldoko.
Selain itu, sejumlah isu lain seperti harga baterai kendaraan listrik yang masih mahal, menjadi salah tantangan dalam rangka menciptkan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia.
“Ada lagi isu baterai yang masih mahal. Pemerintah sat ini tengah bekerja keras bagaimana IDC nanti bisa beroperasi di Indonesia untuk bekerja sama dengan LG dan CATL,” ungkapnya.Di sisi lain, kata Moeldoko, masyarakat juga masih mempertanyakan soal efisiensi dan efektifitas Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik (SPKLU).
“Isu tentang charging station ini harus cepat karena masyarakat kalau terlalu lama gak sabar. Ini berkaitan dengan teknologi, tetapi ini terus berkembang agar charging ini semakin hari semakin cepat,” papar Moeldoko.
Terkait SPKLU ini, Moeldoko menyoroti soal kolaborasi lintas elemen, seperti perbankan dan pihak swasta, yang harus saling mendukung dalam upaya mencapai target Net Zero Emissions.
Isu ketersedian charging station itu swasta juga menunggu, kalau perbankan tidak memberikan supporting yang kuat untuk leasing bagi para pembeli sepeda motor maka orang juga akan sulit untuk bergeser,” katanya.
“Ini berkaitan dengan bagaimana swasta menyiapkan charging station atau SPKLU. Jadi, kalau populasi sepeda motor nggak masif maka SPKLU itu juga tidak akan masif. Untuk itu pihak perbankan harus memberikan support yang kuat,” lanjut Moeldoko.
Pemerintah juga hingga kini terus melakukan evaluasi terkait efek dari pemberian subsidi 200 ribu sepeda motor. Mengingat, belum ada perubahan signifikan setelah pemerintah memberikan subsidi pembelian kendaraan listrik.
“Kita juga sedang evaluasi agar keinginan pemerintah untuk memberikan 200 ribu subsidi sepeda motor ini segera terserap ternyata masih mengalami hambatan. Apakah karena ribetnya orang mengurus, atau sosialiasinya yang masih kurang sehingga daya beli masih sangat rendah atau karena permasalahan leasing dari perbangkan,” katanya.
KSP sendiri, kata Moeldoko, terus melakukan komunikasi sekaligus memberikan kesadaran ke publik soal pengaruh positif transisi kendaraan konvensioanal menuju kendaraan listrik.
“Kebijakan itu harus terkomunikasi ke publik. Seperti transisi kendaraan konvensioanal menuju kendaraan listrik itu juga perlu publikasi yang kuat. karena kebijkannya sudah baik tetapi pemahaman masyarakat atas kebijakan itu belum semaksimal mungkin. Maka tugas-tugas KSP adalah melakukan komunikasi publik agar semakin clear,” katanya.
Menurutnya, apabila kita bisa mentransisi 6 juta sepeda motor di tahun 2025, maka kita akan bisa menekan 3,45O juta ton CO2. Sementara itu, Jika tahun 2030 kita bisa menuju 9 juta kendaraan, maka kita bisa menekan 5,175 juta ton CO2. Dan pada tahun 2035 kalau bisa mentransisi 12 juta kendaraan, maka kita bisa menekan 6,9 juta ton CO2.
“Kalau mobil kita bisa gunakan 400 ribu pada 2025 maka kita akan menekan 1,84 juta ton CO2. Kalau 600 ribu motor kita bisa gunakan maka kita bisa menakan 2,76 juta ton CO2. Dan 2035 nanti diharapkan 1 juta mobil maka akan menekan 4,6 juta ton CO2,” papar Moeldoko.