Bisnistoday-Serikat Pekerja Pertamina Unit Pemasaran III (SPP UPms III) yang berada di bawah bendera Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) turut lantang bersuara sehubungan dengan terjadinya perubahan-perubahan di PT Pertamina (Persero) belakangan ini.
Ketua Umum Serikat Pekerja UPms III Aryo Wibowo Hendra Putro, menyoroti tiga hal yaitu pergantian susunan Direksi PT Pertamina (Persero) berdasarkan Keputusan Menteri BUMN No. SK-198/MBU/06/2020 tentang Pemberitahuan Perubahan Nomeklatur Jabatan, Pengalihan Tugas dan Pengangkatan Anggota-Anggota Direksi Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pertamina. Lalu soal pembentukan organisasi Holding dan Subholding Migas, dan rencana Direksi PT Pertamina Persero untuk melakukan IPO (Innitial Public Offering) untuk Subholding Migas.
“Pembentukan Holding dan Subholding Migas dan rencana IPO pada Subholding Migas bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 33 terutama ayat 2 dan 3 serta tidak sejalan dengan UU No.19 Tahun 2003 di mana Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas dilarang untuk diprivatisasi,” tegas Aryo dalam keterangannya, Minggu (21/6/2020).
Diungkapkan olehnya, FSPPB dan semua konstituennya tidak pernah diikutsertakan dalam pembahasan terkait perubahan organisasi yang terjadi di Pertamina baru-baru ini yang mana tidak sesuai dengan PKB Periode 2019-2021. Dalam Bab I Pasal 7 (8) PKB itu disebutkan, “Dalam hal Perusahaan melakukan perbuatan hukum berupa penggabungan, peleburan, pengambilalihan atau pemisahan sebagaimana dimaksud Undang – Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas wajib memperhatikan kepentingan Pekerja yang dalam hal ini diwakili oleh FSPPB”.
Aryo menambahkan, pembentukan Holding dan Subholding Migas hanyalah akal-akalan agar bisa melakukan IPO pada kegiatan Pertamina yang tidak mungkin dilakukan pada induk usaha PT Pertamina (Persero).
“Maka dipecahlah bisnis-bisnis utama Pertamina menjadi sub holding agar bisa dijual, dan sangat berpotensi dimiliki oleh asing, seperti Telkomsel sebagai anak perusahaan Telkom yang 35% sahamnya dimiliki Singtel yang merupakan perusahaan asing berasal dari Singapura). Apabila ini terjadi pada sektor energi, maka sudah sangat jelas mengebiri kedaulatan energi Indonesia,” paparnya.
Ia juga menjelaskan bahwa pembentukan Holding dan Subholding Migas bukannya bertujuan untuk efisiensi tetapi justru menambah beban biaya dengan banyaknya direksi dan komisaris pada perusahaan Subholding dan Sub-sub holdingnya, serta setiap transaksi antar perusahaan akan dikenai pajak yang mengakibatkan biaya tinggi dan berujung naiknya harga jual di pasaran.
Pemisahaan unit bisnis dari hulu ke hilir menjadi perusahaan yang terpisah-pisah, lanjutnya, juga akan membentuk silo-silo yang semakin menyulitkan koordinasi operasional antar unit dan membuat benturan kepentingan bisnis antar Subholding karena masing-masing memiliki KPI dan target profit yang harus tercapai.
Aryo juga menyoroti komposisi direksi PT Pertamina (Persero) yang di dalamnya hanya terdapat Direktur Utama, Direktur SDM, Direktur Keuangan, Direktur Penunjang Bisnis, Direktur Logistik & Infrastruktur serta Direktur Strategi, Portofolio, dan Pengembangan Bisnis.
“Tidak ada Direktur Hulu, Direktur Pengolahan ataupun Direktorat Pemasaran yang merupakan inti bisnis Pertamina. Dengan demikian Direksi Holding Pertamina bisa diisi dengan orang yang tidak paham bisnis Migas, sehingga keputusan-keputusannya justru bisa membahayakan perusahaan,” sergahnya.
Dilanjutkan olehnya, berdasarkan berbagai pertimbangan di atas, maka SPP UPms III dengan tegas menolak pembentukan Holding dan Subholding Migas dan privatisasi Subholding Migas melalui IPO karena dapat mereduksi kewenangan negara atas BUMN dan berpotensi menjadi legitimasi denasionalisasi, penjualan, dan penghilangan BUMN.
“Karena itu kami menuntut agar Keputusan Menteri BUMN No. SK-198/mbu/06/2020 tersebut segera dicabut,” pungkas Aryo. Dewi