Bisnistoday.com, Di tengah bombardir udara tak berperikamanusiaan Israel atas wilayah Gaza di Palestina, bukan perkara yang mudah bagi AQUA, penguasa pasar air kemasan dalam negeri, berkelit dari terpaan badai boikot produk Pro Israel. Ini karena induknya, pemilik saham terbesar sekaligus pengendali perusahaan, raksasa makanan dan minuman dunia berbasis Perancis, Danone, punya jejak keterkaitan dengan rezim apartheid yang mengangkangi tanah Bangsa Palestina sejak 75 tahun silam.

Mungkin karena itu juga, Direktur Komunikasi Danone Indonesia, Arif Mujahidin, memilih berhati-hati dalam menjelaskan posisi perusahaannya. Dikutip Tempo, Arif bilang Danone adalah perusahaan publik yang beroperasi di 120 negara. Dia menyebut, Danone, sebagai entitas swasta, tidak memiliki afiliasi dengan politik apa pun.

“Danone tidak memiliki pabrik dan tidak beroperasi di Israel,” katanya.

“Di Indonesia, Danone memiliki 25 pabrik dengan 13.000 karyawan, dan melayani lebih dari 1 juta pedagang di seluruh negeri.”

Tapi seperti apa faktanya?

Arif ada benarnya saat bilang Danone adalah perusahaan publik. Namun gambaran yang lebih tepatnya adalah Danone S.A, demikian nama resminya, merupakan gergasi multinasional dengan tentakel bisnis tersebar di 120 negara, termasuk Indonesia.

Di Indonesia, misalnya, Danone adalah merupakan pemegang saham terbesar sekaligus pengendali di sejumlah bisnis basah dan strategis.

Di sektor air minum kemasan, Danone merupakan pemegang saham dan pengendali brand AQUA, VIT dan Mizone via kepemikan atas PT Aqua Golden Mississippi (74% saham), PT Tirta Investama (74%) dan PT Tirta Sibayakindo (55,5%).

Pada bisnis susu bayi dan minuman bernutrisi, Danone merupakan pengendali atas semua produk susu dengan brand Nutricia dan SGM via PT Nutricia Indonesia Sejahtera (100%), PT Sarihusada Generasi Mahardhika (99,97%) dan PT Sugizindo (99,97%).

Kembali ke Eropa. Sebagai perusahaan terbuka, bagian terbesar dari saham Danone (78%) sebenarnya bukan di tangan masyarakat umum, namun pada belasan ‘investor institusional’, sebutan untuk perusahaan investasi raksasa. Dari yang terakhir, tercatat separuhnya dimiliki oleh perusahaan investasi raksasa asal Amerika Serikat, sebut saja Blackrock.

Sampai di sini, keterkaitkan Danone dan Israel mulai mudah terbaca. Ini karena Blackrock, berbasis New York, punya investasi yang masif di Israel dan pada sejumlah perusahaan persenjataan, termasuk Lockheed Martin, RTX, Northrop Grumman, Boeing, dan General Dynamics, yang kesemuanya memproduksi persenjataan perang top-notch yang kemudian dipergunakan Israel untuk meneror dan membunuh warga Pelastina — dalam jumlah massal dan sekejap.

Singkat cerita, Blackrock adalah bandar perusahaan-perusahaan yang mempersenjatai mesin-mesin perang Israel. Atau dengan kata lain, Blackrock lah yang menjadikan Israel dengan mudah terlihat layaknya monster haus darah di layar teve dan handphone warga dunia hari-hari ini.

Bombardir serangan udara Israel atas Gaza dalam sebulan lebih terakhir telah berujung genosida terbesar dalam abad ini; menewaskan lebih dari 10.000 orang dimana lebih dari separuh yang mati terbunuh adalah anak-anak dan kaum perempuan.

Bila secara bisnis bermasalah, Blackrock juga bikin orang banyak senewen karena sikap politik bosnya, Larry Fink.

Fink, di banyak postingan media sosial, tak segan menunjukkan dirinya sebagai pendukung hardcore rezim apartheid Israel. Dia termasuk yang senyum-senyum dengan prospek pecahnya perang regional di Timur Tengah. Saat pemerintahan Presiden Joe Biden di Washington mengerahkan armada kapal induk bertenaga nuklir pada bulan lalu, sebagai upaya ‘menakut-nakuti’ Iran, Fink bersemangat menggambarkannya sebagai ‘pernyataan spektakuler dari Amerika Serikat’.

Pekan lalu di New York, banyak orang Yahudi yang tercerahkan, yang tak setuju dengan zionisme Israel, jadi mutung setelah Fink, juga seorang Yahudi, memposting pesan di Internet yang intinya justru mengecam Hamas karena menyebabkan tewasnya sejumlah warga sipil di Israel. Belum cukup, dia juga melewatkan Israel dari daftar kecamannya, seolah kebengisan Israel atas Gaza terjadi di planet yang lain.  

Sikap Fink yang mudah ditebak itu, juga fakta perusahaannya menguasai sejumlah besar saham Danone menjadi Danone, dan unit-unit usahanya di seluruh dunia, termasuk Indonesia, ikut terseret karena dianggap sebagai bagian dari mesin-mesin kapitalis global yang aktif membandari Israel.

Bila uang yang jadi timbangan, cerita lebih mudah dipahami. Danone, pada 2022, misalnya, tercatat membukukan penjualan global sekitar Rp 550 triliun, atau setara seperenam APBN Indonesia 2023. Ini angka yang besar, tentunya. Dari angka yang jumbo itu, Rp 27 triliun di antaranya adalah kontribusi penjualan Danone di Indonesia.

Mengingat fakta Blackrock adalah pemegang saham utama di Danone dan fakta bahwa Danone merupakan pengendali pada unit-unit bisnisnya di Indonesia, ini berarti dari setiap sen penjualan produk AQUA (baik kemasan gelas, botol maupun galon), VIT, Mizone, Nutricia dan SGM, ada sebagiannya — untuk tidak menyebut sebagian besar — yang lari ke headquarter Danone di Perancis, lalu dari situ meresap ke brankas Blackrock di New York dan, selanjutnya, Anda bisa menebak sendiri, kan?

Dengan cerita di atas, orang jadi lebih punya perspektif untuk menilai klaim Arif, juru bicara Danone Indonesia, bahwa Danone tidak memiliki pabrik dan tidak beroperasi di Israel.

Ada cerita lain, sebenarnya, yang juga bisa memperkaya perspektif.

Sedikit sejarah. Ceritanya, pada era 70’an, Danone yang kali itu masih bernama Groupe Danone, menjalin kerjasama strategis dengan Strauss Dairies, produsen makanan dan minuman kemasan di Israel. Kerja sama kala itu termasuk mencakup bantuan permodalan, penjualan produk Danone dan kesepakatan alih-teknologi. Boleh dikata, Danone lah yang membukakan jalan Strauss Group pada inovasi dan keilmuan first-class yang dihasilkan laboratorium-laboratorium riset Danone di berbagai negara, utamanya fasilitas riset utama Danone, Centre Daniel Carasso, di Perancis.

Pada 1974, Danone membukakan jalan pada Strauss untuk bisa memproduksi Yogurt. Namun pada 1982, di tengah membesarnya gerakan boikot dunia Arab atas produk Israel, Danone memutuskan menarik diri. Danone pergi memberi syarat tiga produk unggulannya, Dani, Danone dan Daniela, bisa tetap diproduksi di Israel asalkan dengan tulisan dalam aksara Ibrani.

Pada 1996, setelah 14 tahun melipir untuk menghindari kemarahan dunia Arab, Danone kembali ke Israel. Per Desember di tahun yang sama, Danone membeli 20% saham Strauss Health Ltd. (sebelumnya bernama Strauss Dairies Ltd.) dan Strauss Holdings (sebelumnya Strauss Nahariya Dairy Ltd.). Pembelian itu termasuk pemberian lisensi bagi perusahaan di tanah jajahan itu untuk menggunakan know-how Danone dalam produksi seluruh produk fresh dairy Danone. Kehadiran Danone ini lah yang melapangkan jalan Strauss menjadi raksasa makanan dan minuman kemasan di Israel.

Dalam sebuah sirkular resmi belum lama ini, Danone menyebut bahwa per 31 Desember 2022, perusahaan tercatat punya saham pada sebuah entitas bisnis di Israel, yakni Strauss Health Ltd. dengan porsi kepemilikan saham 20%.

Jadi, benarlah bahwa Danone memang, secara kasat mata, tidak memiliki pabrik dan tidak beroperasi di Israel. Namun, seperti sebuah gelas separuh penuh, benar pula bahwa Danone mendapatkan keuntungan rutin dari operasi dan bisnis salah satu perusahaan makanan dan minuman kemasan terbesar di Israel.

Belum selesai. Mengingat fakta bahwa pabrik Strauss berlokasi di atas tanah warga Palestina yang terjajah dan fakta bahwa hari demi hari dalam beberapa dekade terakhir Strauss bisa menghasilkan keuntungan yang fantastis di tengah pendudukan, opresi dan genosida Israel atas bangsa Palestina, ini berarti Danone, dan seluruh unit usahanya di seluruh dunia, termasuk Indonesia, ikut kecipratan darah orang-orang yang terzalimi di Palestina. Boikot?

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *