Bisnistoday- WorkMi, sebuah perusahaan dengan fokus utama sebagai penyedia Employee Assistance Program, memandang bahwa pandemi Covid 19 membawa sebuah perubahan masif yang tidak pernah kita prediksi sebelumnya.
Salah satu hikmah yang bisa diambil dari semua disrupsi dan perubahan ini adalah semakin biasanya diskusi tentang kesehatan mental dibicarakan di tempat kerja. Hal ini diiringi dengan peningkatan kesadaran tentang faktor tempat kerja yang berdampak buruk kepada kesehatan mental dan irisannya dengan Diversity, Equity, and Inclusion (DEI).
“Para karyawan mengalami tantangan kesehatan mental di seluruh dunia, dan WorkMi menemukan prevalensi meningkat dari 2020 ke 2021, temuan yang didukung oleh Qualtrics dan Mind Share Partners yang menyatakan bahwa prevalensi meningkat 59% dari 2019 ke 2020 dan 56% dari 2020 ke 2021, kata Co-Founder Ibunda.id Arif Fajar Saputra, dalam siaran pers nya yang diterima, Jakarta 9/4/22.
Banyak karyawan yang meninggalkan pekerjaannya untuk alasan kesehatan mental, termasuk yang disebabkan oleh faktor tempat kerja seperti beban kerja terlalu banyak. Tantangan-tantangan kesehatan mental sekarang adalah norma baru diantara para karyawan di semua level organisasi.
Melihat banyaknya stresor yang mempengaruhi kondisi kesehatan mental seseorang WorkMi meneliti atau menganalisa kondisi kesehatan mental lebih dari 2.000 klien WorkMi berdasarkan Kessler Psychological Distress Scale (K10), sebuah asesmen yang bertujuan menghasilkan ukuran global terhadap distress berdasarkan pertanyaan-pertanyaan mengenai gejala kecemasan dan depresi yang telah dialami seseorang dalam periode empat minggu terakhir.
Analisa itu diungkapkan WorkMi dalam Laporan Kesehatan Mental WorkMi 2021: Tempat Kerja yang Ramah Manusia. Hasil temuan dari 2.643 klien WorkMi yang dinilai berdasarkan The Kessler Psychological Distress Scale (K10). Hal menariknya mayoritas karyawan mengalami Low (32,65%) ke Medium Distress pada 2021 ini (27,46%). WorkMi juga menjelaskan banyak faktor yang berperan untuk melindungi kondisi kesehatan mental karyawan seperti ikatan yang kuat antar anggota organisasi , pengaturan kerja yang fleksibel, dan masih banyak lagi.
Namun, temuan WorkMi juga menunjukkan sebanyak 16,42% mengalami Distress Sangat Tinggi (Very High Distress) dan sebanyak 23,45% mengalami Distress Tinggi (High Distress). Setidaknya ada lima titik permasalahan terbesar yang dilaporkan karyawan yakni keseimbangan kerja-hidup (13,24%), beban kerja yang tinggi (12,97%), deadline yang padat (12,78%), kurangnya dukungan (8,70%), dan ambiguitas peran (6,31%)
Di sisi lain, produktivitas tenaga kerja telah menjadi faktor kritis pada kekuatan dan keberlanjutan dari performa bisnis perusahaan secara keseluruhan. WorkMi memahami bahwa produktivitas berkorelasi dengan sebuah ‘kehadiran fisik’ dari individu-individu di pekerjaan.
Namun ketika para karyawan hadir secara fisik dalam pekerjaannya, mereka mungkin mengalami penurunan produktivitas dan di bawah kualitas kerja normal sebuah konsep dikenal sebagai decreased presenteeism. Maka itu, WorkMi menganalisa produktivitas lebih dari 2.000 klien WorkMi dengan Stanford Presenteeism Scale.
Hasil penemuan dari 2.643 Klien WorkMi dinilai berdasarkan Stanford Presenteeism Scale. Cerita positif dari temuan ini adalah mayoritas dari karyawan mampu untuk bekerja secara produktif (64%), sedangkan 46% sisanya menghadapi kesulitan untuk bekerja produktif.
WorkMi menemukan sebuah isu yang naik berdasarkan level produktivitas klien WorkMi. Sebanyak 64.57% dari mereka mengalami distress tinggi dan sangat tinggi, tetapi mereka masih mampu untuk bekerja secara produktif. WorkMi menyebut isu itu sebagai kemunculan akan kelompok-kelompok bom waktu.
Adapun yang mau disampaikan WorkMi adalah level produktivitas telah menjadi sebuah faktor penting pada kekuatan dan keberlanjutan dari performa bisnis perusahaan secara keseluruhan, dan sejauh ini, ini adalah salah satu kunci indikator yang terlihat dalam mengukur performa karyawan.
WorkMi juga memberikan beberapa rekomendasi bagi tempat kerja yang ingin terus mendukung kesehatan mental bagi karyawannya. Pertama, gunakan empati sebagai kekuatan utama di manajemen. Khususnya dikala pandemi yang masih berlanjut dan banyaknya orang-orang yang mengalami emosi negatif serta kehilangan. Ditambah lagi dengan adanya lockdwon dan pembatasan interaksi sosial karena adanya pengaturan work from home dan menyebabkan fenomena kesepian yang mulai meningkat.
Kedua dukung orang-orang untuk dapat menjadi diri sendiri, menjadi mentor untuk orang lain, posisikan orang lain pada pusat percakapan Anda, dan sediakan sumber daya atau dukungan..
Ketiga, jadikan work-life balance sebagai siklus. Kerja berlebihan sudah menjadi salah satu masalah teratas tahun ini, menyebabkan para karyawan di seluruh dunia gagal dalam mencapai work-life balance. / dewi