Bisnistoday- Kenapa membeli madu dari Selandia Baru, kalau madu dari hutan Indonesia lebih bergizi? Kenapa belanja baju bermerek dari Eropa, kalau baju dari wastra Nusantara begitu cantik dan stylish? Produk lokal sudah terbukti punya kualitas yang bagus. Apalagi, pemerintah kini sedang gencar-gencarnya menggalakkan gerakan Bangga Buatan Indonesia, karena memang #IndonesiaBikinBangga.
Lebih jauh lagi, asosiasi pemerintah kabupaten untuk pembangunan lestari, yaitu Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), mempromosikan produk kabupaten yang bukan hanya diproduksi secara lokal, melainkan produk lokal yang lestari. Artinya, produk tersebut bersifat ramah lingkungan dan ramah sosial. Dari sisi lingkungan, proses pembuatan dari hulu ke hilir tidak membahayakan lingkungan hidup. Bahan bakunya pun diambil dari alam yang terjaga dengan baik. Sementara itu, dari sisi sosial, produk tersebut bisa membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang hidup di lingkungan lokasi usaha.
Proses pembuatan produk lokal lestari memang masih menemui banyak tantangan, salah satunya dari segi kemasan. Sejauh ini masih ada yang menggunakan materi kurang ramah lingkungan karena keterbatasan pilihan di kabupaten. LTKL terus berusaha mencari model pengemasan yang lebih ramah lingkungan. Sebab, kemasan ini juga menyangkut harga, Makin tinggi harga, makin sulit pemasarannya. Plus, produk lokal ini diproduksi jauh dari kota, sehingga biaya distribusi perlu dipertimbangkan.
Hal penting lain yang menjadi concern utama LTKL adalah perizinan. Pelaku UMKM sebaiknya sudah memiliki sertifikasi Produk Usaha Rumah Tangga (PIRT). LTKL bersama Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) yang didukung oleh SMESCO Indonesia dan mitra pendukung lain mengadakan pelatihan terkait perizinan UMKM, karena tidak semua pelaku usaha paham tentang perizinan, padahal produknya bagus. Saat awal mengkurasi produk untuk dimasukkan ke toko online Gerai Kabupaten Lestari, LTKL melihat dari sisi cerita, sustainability, dan kemasan. Tapi, karena perizinan merupakan faktor yang penting, maka kemudian mereka memasukkannya sebagai salah satu kriteria.
Ini dia produk di Gerai Kabupaten Lestari yang bisa beli dan banggakan:
Madu Hutan Milanka dan Nahla
Madu telah menjadi bagian dari masyarakat. Penggemar produk lokal yang senang minum es teh dan es kelapa, pasti mencampurkan madu ke dalam minuman tersebut. Madu Milanka memiliki tekstur cair dan ada aroma buah-buahan yang segar.
Selain Madu Milanka berasal dari Bangka dan Riau, ada pula Madu Nahla yang berasal dari Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Wahyudi Hidayat, Wakil Bupati Kapuas Hulu, menjelaskan, madu hutan merupakan salah satu produk yang masuk kategori Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dan menjadi produk unggulan Kabupaten Kapuas Hulu, yang merupakan salah satu anggota LTKL. Melihat potensi ekonomi di baliknya, Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu bersama pegiat pelaku usaha madu hutan kemudian membentuk sentra wirausaha produksi dan pemanfaatan HHBK komoditas madu hutan.
Salah satu jenis yang dikembangkan adalah madu tikung (salah satu jenis madu di Kapuas Hulu) yang tidak merusak lingkungan. Sejak dulu para petani menerapkan Sistem Panen Madu Lestari (SPML) yang bertujuan untuk menjamin keberlanjutan produksi madu.
“Potensi Kapuas Hulu sebagai salah satu cagar biosfer di Indonesia sangat beragam, khususnya dari komoditas HHBK, seperti madu hutan, karet, tengkawang, maupun ubi kayu, perikanan, dan kriya, sangat menarik. Beberapa bulan lalu kami telah menyepakati model pengembangan bisnis/ekonomi berkelanjutan dengan berbagai pihak termasuk para pelaku UMKM di Kabupaten Kapuas Hulu,” kata Wahyudi.
Gula Semut Aren PalmGo
Di daerah Gorontalo terdapat 164.000 pohon aren produktif. Namun, kebanyakan petani mengolahnya menjadi gula merah yang harganya relatif rendah atau menjadi minuman keras. Akibatnya, mereka harus menghadapi kasus hukum karena produk yang mereka hasilkan dinilai ilegal. Melihat kejadian tersebut, juga melihat banyak orang yang mengalami PHK akibat pandemi, Roni Nopo, Direktur Gula Semut PalmGo, mencari cara untuk membantu mereka, sekaligus mengolah potensi aren secara lestari.
Timbullah ide memproduksi gula semut. Melalui berbagai pendekatan dan sosialisasi kepada para petani aren, ia memberi pilihan kepada mereka: mengubah produksi atau berhadapan dengan hukum. “Mau tidak mau mereka mengubah produksi dan kami beri fasilitas berupa alat produksi. Kami juga yang akan menjadi pasar pertama para petani, menjamin produk mereka, serta mendampingi dalam hal cara produksi,” kata Roni, yang sudah merangkul 55 petani dan mempekerjakan 12 pegawai.
Ia menjelaskan, lokasi pohon aren yang kini dimanfaatkan jauh dari pemukiman petani. Jadi selain memanen dari pohon liar, sekarang para petani ini juga dianjurkan untuk menanam dan merawat pohon-pohon aren. Dengan begitu, jumlah produksi mereka meningkat. Roni pun tak segan setiap hari mendatangi dan mengawasi petani.
Dilihat dari segi rasa dan khasiat, gula semut PalmGo sama seperti gula lain. Hanya saja, produk mereka tidak menggunakan pengawet kimia sintetis, melainkan pengawet herbal alami dari akar kayu, kulit kayu, dan buah-buahan. Dari hasil uji BPOM, kadar airnya hanya 0,2% sehingga produk PalmGo lebih kering dan renyah. Kemasannya pun cantik.
Bunga Telang Picnic Village
Bunga telang (Clitoria ternatea) sedang sangat happening. Makin banyak kafe yang meracik minuman dari jenis bunga tersebut. Tumbuh liar di negeri ini, bunga telang bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku usaha teh telang kering, seperti yang dikerjakan oleh UMKM Istana Datin Anom, Kampung Siak Merambai, Kecamatan Bungaraya, Riau.
Agar bahan baku untuk produksi tidak cepat habis, pelaku usaha yang melabeli produknya dengan nama Picnic Village ini membudidayakan bunga telang secara organik di pekarangan rumah. Bunga tersebut dikeringkan tanpa kehilangan warna aslinya, dikemas cantik, dan siap diseduh.
Kain Gambo Muba
Motif jumputan ternyata bukan milik Solo dan Yogyakarta semata. Sumatra Selatan pun punya Jumputan Gambo Muba dari Kabupaten Musi Banyuasin. Kain ikat celup jumput ini menggunakan pewarna alami dari sisa ekstraksi gambir, sejenis tanaman perdu yang hidup tumpang sari antara perkebunan karet. Petani di Desa Toman biasanya memetik daun gambir pada pagi hari, lalu memulai proses ekstraksi daun gambir untuk dijadikan pewarna alami.
Proses pewarnaan kain gambo muba diawali dari proses mordan, yaitu merebus kain dengan 20 liter air, 300 gram air tawas, dan 100 gram soda abu. Setelah itu, kain dikeringkan secara alami, lalu dijumput oleh para perajin. Inovasi motif jumputan gambo muba terus berkembang. Namun, satu motif yang khas adalah motif titik tujuh, yaitu motif jumputan khas Sumatra Selatan yang menurut budayawan melambangkan tujuh aliran sungai yang mengaliri provinsi ini, atau juga terkait filosofi tujuh tingkatan surga.
Karakteristik pewarna gambir ini sangat lekat dengan bahan kain yang mengandung serat alam, seperti katun, rayon, dan sutra, atau serat organik yang berasal dari serat eukaliptus. Karena menggunakan pewarna alami, tentu kain gambo menjadi produk yang ramah lingkungan. Pewarna dari ekstraksi daun gambir ini menghasilkan warna yang unik dan berbeda di setiap kain, sehingga tidak ada kain yang warna dan motifnya sama persis.
Tak hanya dipasarkan dalam bentuk kain, para perajin UMKM Jumputan Gambo Sugih Toman yang tinggal di Desa Toman, Kecamatan Babat Toman, Kabupaten Musi Banyuasin, membuat pakaian jadi dalam bentuk abaya, jaket, dan juga masker. Cantik-cantik sekali.
Anyaman Bambu Rotan
Hutan Kalimantan terkenal masih liar, menyimpan potensi yang besar untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Inilah mengapa masyarakat Dayak terus dihimbau untuk menjaga hutan. Selain mengambil hasil hutan untuk kebutuhan sehari-hari, seperti bahan makanan, mereka bisa mengambil bambu rotan untuk dijadikan produk yang dipasarkan dengan nilai yang tinggi.
Para perempuan Dayak yang tergabung dalam Koperasi Jasa Menenun Mandiri menggunakan rotan bambu berkualitas tinggi dan dengan teliti menganyamnya menjadi berbagai jenis produk, termasuk tas. Bahan pewarnanya pun mereka ambil dari hutan. Misalnya, untuk warna hitam mereka menggunakan daun pararau, sementara untuk warna merah mereka memakai daun jati muda.
Menariknya, setiap anyaman memiliki makna motif tersendiri yang menceritakan tentang kehidupan masyarakat Dayak.
Merayakan HUT RI Ke-76, LTKL menggelar acara Virtual UMKM Fair yang dikemas dengan format live shopping. Tujuan untuk memperluas jaringan UMKM yang membuat produk lokal lestari, meningkatkan eksposur tentang narasi produk lokal lestari, dan menambah transaksi penjualan produk lokal lestari.
Melalui kanal YouTube SMESCO Indonesia, LTKL, Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) bersama SMESCO Indonesia, dan Hutan Itu Indonesia (HII), mengajak semua masyarakat untuk bangga dan belanja produk-produk lokal lestari yang dikembangkan oleh sejumlah kabupaten. Ada 23 produk yang dikurasi secara khusus untuk dipamerkan di Gerai Kabupaten Lestari, Tokopedia, hasil kerja sama LTKL dan mitra gotong royong. Gerai Kabupaten Lestari dapat diakses di https://s.id/geraikabupatenlestari
“Harapan kami dan mitra kolaborator, melalui Gerai Kabupaten Lestari di Tokopedia, kita bersama-sama dapat meningkatkan peluang pasar untuk produk-produk lokal lestari dari kabupaten dan mendorong konsumen lebih mindful dalam memilih produk yang ramah lingkungan dan ramah sosial,” kata Ristika Putri Istanti, Manajer Program Sekretariat LTKL (25/08/21). Dewi