Bisnistoday – Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) yang menaungi 19 serikat pekerja di tubuh PT Pertamina (Persero) kembali menolak dengan tegas subholding dan initial public offering (IPO).
 
Sebagai wadah pekerja yang senantiasa berjuang menjaga kelangsungan bisnis maupun kedaulatan nasional, FSPPB berupaya keras agar rencana Menteri BUMN Erick Thohir tersebut sebaiknya dibatalkan.
 
Berbagai upaya seperti pengajuan judicial review (JR) ke Mahkamah Agung telah dilakukan FSPPB yang pada intinya bertujuan agar pemerintah sebaiknya memikirkan hal yang lebih krusial ketimbang mengutak-atik nomenklatur di Pertamina.
 
Terlebih lagi, subholding maupun IPO tidak saja bermasalah dari aspek bisnis, tetapi juga bertentangan dengan aspek hukum.
 
Dalam catatan FSPPB sebagaimana disampaikan Kepala Bidang Media FSPPB Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa dalam webinar bertajuk “Pemberlakuan IPO Pertamina Merupakan Penyelamatan Sumber Daya Strategis Nasional atau Genosida Terhadap Kedaulatan Energi Bangsa?” pada Sabtu (14/8/2021), terdapat sejumlah alasan kenapa subholding dan IPO harus ditolak.
 
Capten Hakeng yang berbicara dalam webinar yang diselenggarakan Dewan Energi Mahasiswa (DEM) kawasan timur Indonesia ini memaparkan, IPO berpotensi melanggar UU No.19 tahun 2003 tentang BUMN Pasal 77 huruf (c) dan (d), bahwa “Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah: Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat;” bunyi pasal 77 huruf (c).
 
Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah: Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi, demikian tulis pasal 77 huruf (d).
 
Selanjutnya, besarnya potensi Pajak yang harus dibayarkan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia NOMOR 52/PMK.010/2017 tentang penggunaan nilai buku atas pengalihan dan perolehan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran atau pengambilalihan usaha.
 
Hakeng menambahkan, transfer pricing antar subholding berpotensi menyebabkan HPP (Harga Pokok Produksi) BBM meningkat. Jika ini terjadi maka yang dirugikan adalah rakyat karena harus membeli BBM dengan harga yang lebih mahal.
 
“Ditambah lagi manajemen yang kelihatannya efisien karena dari 11 hanya menjadi 6 direksi.  Padahal ternyata banyak penambahan direksi pada sub holding,” ujarnya.
 
Keempat, potensi terjadinya Silo Silo antar subholding karena sudah menjadi entitas bisnis yang tersendiri dan mempunyai target kinerja masing-masing.  “Terjadi tumpang tindih yang terjadi antara sub holding,” tandas Hakeng.
 
Kelima, kemampuan subholding dalam mengemban beban penugasan BBM PSO. Karena masing-masing subholding ditarget kinerja masing-masing, maka akan memungkin antar subholding saling bersaing ketimbang memikirkan kepentingan rakyat.
 
Keenam, hilangnya Previlege yang diberikan oleh pemerintah ketika subholding melakukan IPO. “Kita tahu ketika sub holding di IPO itu menjadi perusahaan privat,” tegas Arie.
 
Terakhir, adalah mengancam Ketahanan Energi Nasional dan Program Pemerataan Pembangunan (BBM 1 harga) tak berjalan optimal. Dewi

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *