Bisnistoday- Siapa yang tak kenal dengan pohon sejuta manfaat, kelapa sawit? Di negara-negara tropis khususnya Indonesia, “emas hijau” ini memang menjadi komoditi unggulan dalam memproduksi minyak. Di tanah air sendiri, kelapa sawit menjadi penyumbang pendapatan devisa non migas terbesar.
 
Adalah PT Unggul Widya Teknologi Lestari (PT UWTL), perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di Kecamatan Baras, Kabupaten Mamuju Utara, Sulawesi Barat salah satu penyumbang devisa negara non migas. 
 
Kuasa Direksi PT Unggul Widya Teknologi Lestari Mochtar Tanong, mengatakan Indonesia, Malaysia, sebagian kecil kawasan Afrika, Amerika Tengah, dan Amerika Latin memiliki iklim yang cocok untuk menanam kelapa sawit. 
 
“Kalau di Indonesia pulau-pulau yang dapat tumbuh subur pohon kelapa sawit yakni di daerah utara Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua karena mereka berada di sekitar 2 derajat dari khatulistiwa. Kalau di Jawa kurang sesuai tanahnya untuk di tanami kelapa sawit,” ujar Mochtar Tanong di Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat, Rabu (1/5)
 
UWTL sendiri lanjut Mochtar Tanong, saat ini memiliki luas kebun lebih dari 12 ribu hektare yang terdiri dari kebun inti sebesar 6.348 hektare (ha) dan kebun plasma 6.140 ha. 
 
“Untuk produksinya saat ini kami mampu mengolah sebanyak 2100 ton sawit per hari, masing-masing 900 ton di pabrik lama dan 1.200 ton di pabrik barunya. Di mana dari proses pengolahan menghasilkan 21% minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO), 5% kernel, dan 6% cangkang,” imbuhnya. 
 
Sedangkan produksi kelapa sawit di tanah air sebesar 46 juta ton per tahun, dan menjadi penghasil terbesar minyak kelapa sawit di dunia. Meski saat ini harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) sedang tertekan, nyatanya komoditas ini telah memberikan devisa sebesar 20,54 miliar dolar AS pada 2018 (data GAPKI Tahun 2019).
 
Dulunya lanjut Muchtar Tanong, perkebunan UWTL merupakan hutan belantara. Dimana penduduknya kebanyakan bekerja sebagai nelayan. Makanan pokoknya saat itu pun masih sagu. 
 
“Setelah hutan ini menjadi perkebunan kelapa sawit baru lah kehiduapan mulai berubah sedikit demi sedikit. Sayangnya penduduk lokal disini juga ga mau langsung kerja di perkebunan. Istilahnya masih gengsi lah. Makanya kami mengadakan program transmigrasi  yakni PIRTrans (Perkebunan Inti Rakyat),” ungkapnya. 
 
Program PIRTrans yakni UWTL menyiapkan lahan masing-masing dua hektare per keluarga transmigran yang bekerja sebagai perkebun plasma, atau bermitra dengan perusahaan. 
 
Total transmigran yang didatangkan saat itu ke perkebunan UWTL ada 3.070 kepala keluarga (KK), di mana Bali menjadi provinsi dengan transmigran terbanyak.

“Selain Bali ada juga transmigran yang berasal NTT, NTB, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jakarta dan lain sebagainya. Hampir semua suku ada disini dan kami menyebutnya sebagai miniatur Indonesia,” ujarnya. 
 
Dalam hal penyerapan tenaga kerja, industri kelapa sawit di UTWL menyerap tenaga kerja lebih dari 17.000 orang dan mampu mengubah kehidupan masyarakat setempat. Hal ini bisa dilihat dengan adanya semacam perekonomian kecil yang tumbuh di daerah tersebut seperti adanya warung kecil, bengkel, pasar dan lain sebagainya.
 
“Sedangkan secara keseluruhan, Industri kelapa sawit telah mempekerjakan 16 juta orang di Indonesia, baik petani kecil maupun pemilik lahan besar. Setidaknya 10 juta penduduk keluar dari garis kemiskinan karena ekspansi bisnis sawit,” imbuhnya. 
 
Dengan dibukannya perkebun kelapa sawit di daerah perkebunan, menurut catatan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) telah meningkatkan taraf penghasilan masyarakat setempat. Sebesar 41 persen perkebunan di Indonesia dimiliki oleh 1,5 petani kecil kelapa sawit, yang memperoleh penghasilan 7 kali lebih besar dibandingkan petani komoditas lainnya. Dewi

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *