Bisnistoday-Kelapa sawit adalah anugerah terindah yang diberikan oleh Tuhan kepada negara-negara tropis seperti halnya Indonesia. “Emas hijau” begitulah julukanya untuk kelapa sawit ini. Tumbuh subur di daerah yang memiliki banyak sinar matahari. Seperti di pulau Kalimantan (khatulistiwa), pulau Sumatera, Sulawesi, Jawa dan lain-lain. Tidak heran jika di pulau-pulau tersebut surganya perkebunan kelapa sawit.
Menurut data Kementerian Pertanian, luas lahan perkebunan sawit di tanah air sebesar 14,03 juta hektare, sedangkan BPS mencatat 12-13 juta hektare. Bahkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun turut mengeluarkan data sebesar 20 juta hektare. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia.
Sedangkan data produksi kelapa sawit menurut Kementerian Pertanian pada 2018 tercatat 37,8 juta ton dan di sisi lain Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyebutkan produksinya mencapai 42 juta ton.
Kanya Lakshmi Sidarta, Sekretaris GAPKI ditemui di acara Fellowship media yang diadakan oleh Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS) di Jakarta, 15/04/19, dengan tema “Peningkatan Citra Produk Kelapa Sawit yang Sustainable”, mengatakan kelapa sawit secara ekonomi menjadi komoditas ekspor nonmigas yang paling banyak menghasilkan devisa bagi negara. Ketergantungan masyarakat akan kelapa sawit sendiri sangat tinggi. Tak cuma didalam negeri, tetapi juga hampir seluruh negara di dunia tidak terkecuali Uni Eropa yang kini mengembargo kelapa sawit dari Indonesia.
“Sayangnya sebagai penghasil devisa negara paling banyak, kelapa sawit justru banyak berhembus isu negatif mulai dari deforistasi, penyebab hutan gundul, membuat lahan kering karena memerlukan banyak air dan masih banyak lagi,” tambahnya.
Untuk itu lanjut Lakshmi Gapki tak henti-hentinya melawan isu-isu negatif dengan melakukan kampanye positif kepada masyarakat baik dari segi ekonomis, lingkungan hidup, manfaat kelapa sawit untuk kesehatan dan lain sebagainya.
“Produksi kelapa sawit dalam negeri begitu besar, tak bisa diserap di dalam negeri untuk pangan saja makanya harus diekspor, dengan berbagai produk turunannya. Untuk ekspor sendiri ada hambatannya dengan adanya pemberitaan negatif karena unsur persaingam bisnis. Bahkan disebut, tidak sustainable. Maka muncul isu lingkungan. Karena isu kesehatan sudah tidak mempan. Minyak sawit justru yang paling mirip dengan ASI ya ini,” ungkap Lakshmi.
Lakshmi menambahkan jika selama ini orang tahunya kelapa sawit hanya menghasilkan minyak goreng dan CPO saja, padahal lebih dari itu ada produk turunannya lebih dari seratus produk. Berbeda dengan 20 tahun yang lalu, di mana 100% ekspor sawit dalam bentuk CPO, saat ini ekspor CPO tinggal 20%, dan 80% ekspor produk turunan.
“Untuk fasilitas pengolahan ada di Indonesia, tapi memang belum cukup. Kalau hasilnya 100(%) harus diolah jadi 100 (%), tapi fasilitas mungkin cuma 80(%), itu pun dibagi-bagi, ada refinery, chemical, jadi masih kurang serapan,” ujar Lakshmi.
Sedangkan untuk produk turunanya, hampir semua lini kebutuhan manusia menggunakan kelapa sawit. Seperti halnya, ungkap Lakshmi dipakai untuk bahan campuran makanan, produk kecantikan, baju, dan lainnya.
“Selama 24 jam tanpa kita sadari telah memakai turunan kelapa sawit seperti halnya bangun tidur kita sikat gigi dengan pasta gigi yang mengandung natrium lauril sulfat. Begitu juga saat mandi memakai sabun, sampo itu juga ada sawitnya. Bahkan pakaian kerja mengandung propilen glikol yang bersumber dari sawit. Selain itu digunakan juga until perlengkapan kosmetik dan kecantikan, diantaranya untuk lipstik, pelembab, tabir surya, alas bedak dan krim pagi, ” ujarnya. Dewi