(Bisnistoday.com)-Dalam Seminar Kebangsaan bertajuk Nasionalisme dan Tantangan Pemuda Zaman Now, yang digelar oleh media online Wartanasional.net dan Perhumas Muda Bogor, di Hotel New Ayuda, Bogor, Sabtu (24/2/2018), menyebutkan, Bogor menempati posisi pertama sebagai kota yang paling intoleran dari semua Kabupaten/Kota di Indonesia. Diikuti Daerah Istimewa Yogyakarta. Penempatan Bogor dan Yogyakarta itu, berdasarkan dari hasil survei beberapa LSM pegiat HAM.
Seminar setengah hari ini menghadirkan pembicara lain Pengamat Politik President University, Dr. Muhammad AS Hikam, Ketua Pengurus Cabang GP Ansor Kabupaten Bogor, KH. Abudllah Nawawi Mdz, dan Redaktur Pelaksana Indonews.id, Fery Herdiman sebagai moderator.
Dihadapan ratusan mahasiswa Bogor dan sekitarnya, para guru, dosen, dan masyarakat umum, Pengamat Politik President University, Dr. Muhammad AS Hikam, dalam paparanya mengatakan, Bogor harus menjadi laboratorium Gerakan Nasional Deradikalisasi (GND), untuk selanjutnya diterapkan di sejumlah kota dan daerah lain.
Mengambil judul “Generasi Muda Menghadapi Ancaman Radikalisme di Indonesia, Perspektif Keamanan Nasional”, Menteri Ristek Kabinet Gus Dur ini menjelaskan tentang fenomena radikalisme yang dihadapi kaum muda saat ini dan di masa depan yang mengancam nasionalisme.
Menggunakan pendekatan keamanan nasional (national security approach), AS Hikam menekankan pentingnya pendekatan kritis untuk mengidentifikasi kondisi generasi muda, sebagai elemen paling strategis bangsa, namun pada saat yang bersamaan menjadi target utama dan empuk dari radikalisme, radikalisasi, dan gerakan radikal anti-NKRI.
Hikam mengupas berbagai hasil survei yang telah dilakukan selama dua tahun terakhir ini (2016-2017) oleh berbagai lembaga, baik yang berafiliasi dengan pemerintah maupun dengan organisasi masyarakat sipil Indonesia (OMSI) yang berkecimpung dalam persoalan intoleransi dan radikalisme. Hasil survei Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Kemendikbud, Kemenag, The Wahid Foundation, Alvara, Setara Insritute, dan Infid (International NGO Forum on Indobesian Development) semuanya menunjukkan bahwa usia muda (21-30) dan pendidikan menengah dan tinggi (SMA-PT) adalah usia yang paling potensial menjadi bagian dari kampanye radikalisme, proses radikalisasi, dan pelaku aksi-aksi radikal, termasuk aksi terorisme.
Selain itu, Hikam juga menggunakan berbagai laporan media dan kajian tentang tumbuh dan berkembangnya pandangan intoleran, ideologi dan organisasi politik radikal seperti HTI di sekolah-sekolah tingkat dasar dan menengah, serta kampus-kampus Universitas terkemuka, baik Negeri maupun swasta.
Kelompok-kelompok kegiatan seperti ROHIS di SMA dan Kelompok Kegiatan Keagamaan di Perguruan Tinggi, juga menjadi wahana rekrutmen, pengaderan, dan penyebaran gagasan serta kegiatan yang cukup sering diberitakan di media.
“Sedemikian intensif dan ekstensif kiprah perekrutan dan pengaderan kelompok radikal di kampus-kampus, seorang dosen senior dari UI mengatakan bahwa metode yang digunakan telah mirip dengan apa yang dilakukan Nazi dan partai komunis, yaitu melalui teknik-teknik ‘cuci otak’ atau brainwashing!,” ujarnya.
Lantas, bagaimana menjawab dan menghadapi tantangan dan ancaman radikalisme di kalangan generasi muda Indonesia yang trennya makin berkembang itu?
Alumnus Universitas Gadjah Mada ini menawarkan solusi antara lain melalui pelibatan intensif dan meluas komponen generasi muda dalam Gerakan Nasional Deradikalisasi, yang berkesinambungan dan jangka panjang.
“Deradikalisasi tidak hanya menjadi program apalagi proyek belaka. Ia harus menjadi sebuah gerakan nasional, yang melibatkan Negara dan aparatur pemerintahan, masyarakat sipil Indonesia (MSI),” ujar jebolan Universitas Hawaii di Manoa pada tahun 1995 ini.
Hikam mengatakan, pendidikan (formal, non-formal, maupun informal) adalah jalur paling utama dan terutama dalam Gerakan Nasional Deradikalisasi tersebut. Substansi pendidikan haruslah memuat penguatan pemahaman Konstitusi dan Pancasila serta kewarganegaan Indonesia.
“Seluruh lembaga pendidikan pada semua tataran harus memberikan muatan tersebut, tentu saja disesuaikan dengan konteks mereka. Hegemoni negara, sebagaimana pernah dilakukan pada masa Orba, tidak perlu diulang lagi dalam mengisi pendidikan tersebut,” katanya.
Selain itu, multikulturalisme juga sangat penting ditumbuhkembangkan secara kreatif dan inovatif kepada generasi muda, semenjak level paling bawah sampai teratas. “Hal ini berdasarkan asumsi bahwa Indonesia hanya akan mampu bertahan sebagai sebuah negara-bangsa (nation state), sebagaimana diamanatkan oleh Proklamasi dan para pendiri bangsa, apabila pilar kebangsaan dan Bhinneka Tunggal Ika tetap kokoh kuat dan berdaya,” ujarnya.
Pluralisme Adalah Identitas
Sementara itu Ketua Pengurus Cabang GP Ansor Kabupaten Bogor, KH. Abudllah Nawawi Mdz, mengatakan, peran pemuda dalam membangun bangsa akan menjadi prioritas utama. Sebab, ke depan, bangsa ini akan disibukkan dengan rekayasa sosial yang didalamnya membutuhkan keampuhan dan kehebatan para pemuda Indonesia.
“Kehebatan teknologi, informasi dan perkembangan ekonomi akan menjadi bagian yang teramat penting bagi pembenahan pemuda kedepannya agar siap menghadapi semua permasalahan bangsa. Nilai harmonisasi bangsa akan terjaga dengan baik jika dikelola oleh pemuda yang cerdas dan terdidik oleh bangsanya sendiri,” ujar Pengasuh Pondok Pesantren Alminhaj al Islami Cinagara, Bogor ini.
Sekjen Al Amin Centre ini mengatakan, pluralisme yang ada di Indonesia bisa menjadi salah satu identitas tersendiri dalam melahirkan nilai-nilai persatuan. Karena itu, dia mengharapkan para pemuda agar siap memperjuangkan nilai-nilai kebangsaan dan keharmonisan di tengah kemajemukan dengan nilai nilai agama.
Ketua BEM 2001 di institut Dalwa Pasuruan Jawa Timur ini mengatakan, esensi beragama saat ini telah dilupakan. Agama hanya menjadi komoditi yang menguntungkan pelaku bisnis berbasis agama. “Semua yang berbau agama telah didewa-dewakan, takkan pernah dianggap salah, tak pernah ditolak, dan jadi keperluan pokok melebihi sandang, pangan, papan. Agama jadi hobi, tren, dan bahkan pelarian karena tak tahu lagi mesti mengerjakan apa,” ujarnya. (kormen)